“IZINKAN AKU MENCINTAIMU WALAU AKU LIBERAL”: KETIKA FILSAFAT DAN CINTA TIDAK LAGI BERJARAK (PART I)

(SEBUAH NOVELET FILSAFAT )

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi ? (QS Al ‘Ankabuut 2).

Ciputat I am in Love. Saat pelupuk hamparan indah danau kecil Situ Gintung meriak-riak ingin dilempar batu. Ketika wewangian alam terhampar berserambi kalbu. Tidak ada yang bisa menulis kisah cintanya sendiri, sekalipun mata pena sudah memoncong siap melukis.
Arisiska Lenila Wahid, Perempuan muda satu-satunya yang mampu menjadi Ketua Umum BEM Fakultas Ushuluddin dan Filsafat tahun ini. Frederich Nietsczhe berkelamin perempuan yang menikam “Tuhan” memang banyak, tapi yang sanggup membunuh cinta, belum ada. Ia sadar bahwa ia benar-benar jatuh cinta pada seorang ikhwan hanif itu. Hati itu muncul begitu saja, sekalipun Arisiska sendiri antara percaya Tuhan dan tidak.

Ia termenung bingung. Tidak bisa berbuat apa-apa melawan hatinya. Hanya diam menunggu. Fokus belajar menjadi pecah. Bayangan wajah Immanuel Kant berubah menjadi Sayyid Quthb. Tampilan fresh kekasihnya lambat laun buyar berganti wajah bersih Alika Reza, ketua Forum Mahasiwa Muslim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. Arisiska tak mampu menutup hati bahwa ada candu cinta dalam hatinya, ya melebih candu yang digagas Marx.

Arisiska terdiam, matanya jarang berkedip. Persis seperti ayam sakit. Pikirannya melayang-layang pada temaram tampang lugu Reza, seakan pria baik itu berada di hadapannya berkata bahwa perempuan tidak boleh merokok. Arisika seketika mematikan tembakaunya, lalu pindah menulis catatan diary kesehariannya,
“Bolehkah jika aku jatuh hati kepada seorang pria alim, baik, jujur? Kendati aku hanya sanggup berjilbab sebelum sampai garis finish: Tidak panjang, tidak lebar, terlebih longgar. Membiarkan poniku mencuri-curi keluar diterpa angin dan tidak ada manset mengelilingi gelangan tanganku.” Arisiska merenung.
“Haruskah aku mabit di rumah Sayyid Quthb setelah sorenya baru saja pulang dari rumah Nietsczhe berdiskusi bahwa Tuhan hidup lagi? Apakah ini yang namanya cinta, akhi? Kenapa rasanya tidak merah dan warnanya mesti pahit.” Imbuhnya berfilosof lebih dari cinta. Ini Filsafat Cinta. Tidak bisa ditampung dengan Psikologi Cinta. Wadahnya tidak muat. Termasuk diuraikan oleh cinta itu sendiri. Istilah “cinta adalah kata kerja” sudah expired. Sekarang zamannya berganti dengan idiom: cinta adalah subyek yang membuat manusia akhirnya menjadi kata kerja itu sendiri. Aneh, entahlah, namanya juga Filsafat.
Namun Arisiska sadar sepenuhnya. Jarak antara mereka bagai Madinah dan Argentina. Reza adalah seorang guru ngaji . Sedangkan Arisiska sendiri adalah guru Filsafat. Tepatnya dedengkot filsafat pengugur tema bahwa Tuhan itu ada. Reza kerap menangis kala shalat menderu sendu. Sedangkan Arisiska adalah peledek bahwa ibadah shalat adalah absurd. Persis yang diucap Albert Camus. Baginya tuhan, Tuhan, dan TUHAN itu relative. Mau ditaruh dimanapun huruf kapital itu, ilmu berdasar ketuhanan tetap saja tidak jelas juntrungannya. Jika Ahmad Wahib hanya mampu gelisah, Arisiska menjadi penggerak koordinator Pusat Feminisme Lingkar Ciputat, penampuk beasiswa shortcourse di McGill University dua bulan lalu. Program beasiswa yang jamak ditemui di UIN atas inisisasi DEPAG dan CIDA Kanada., mereka “saling paradoks”.

Ya Arisiska bukan saja Harvey Cox muda, tapi ia Descartes berkelamin feminim, sekaligus David Hume berkerudung. Sekalipun suka gerahan bila tudung hijab itu menyelimuti rambut hitamnya. Jadilah gerutu makhota itu dikabulkan, dan kalau pergi ke kafe buku, suka tidak menutup aurat. Tidak ganjil baginya yang tergolong santriwati sebelumnya. Dan ironisnya Arisiska kelewat cantik. Manis tapi bengis. Pintar tapi menggelegar. Arisiska tak sanggup menahan kata,
“Izinkan aku mencintaimu. Walau aku tidak berjilbab. Walau aku tidak shalat. Walau aku baru merasakan cinta seaneh ini”

Filsafat Arisiska sudah mentok. Bagaimana mungkin cinta dalam hatinya mengalir pada muara seorang Reza sang ikhwan hanif itu sementara ribuan lelaki menantinya. Tapi pilihan hatinya sudah bulat: Ia tidak dapat menampik, memiliki hati kepada lelaki itu. Koma! Khususnya Ikhwan yang suka meluruskannya pada diskusi-diskusi di jurnal-jurnal Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Titik!
“Haruskah Nietsczhe mengucapkan salam kepada Hasan Al Banna?”
Tepat berdekatan dengan kemayu gedung Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Arisiska berdiri tercenung. Matanya kosong memandang jendela kosnya menghadap Situ Gintung seakan Alika Reza menatapnya dari kejauhan. Ia memegang buku History of western Philosophy Bertrand Rusell dan Reza syahdu mengulum Tafsir Fii dzilahil Qur’an Sayyid Quthb. Kedua buku itu tebalnya lebih dari seribu. Antara Libya dan Irlandia: Ketika Filsafat dan Cinta berjarak.

Dua insan pintar, pandai, walau yang satu masih berasa asin. Di kamar kos khas perempuan dengan cat merah jambu tipis itu, hatinya berbunga sekaligus bingung.
“Biarkan aku menjadi diriku sendiri untuk lebih tertarik dg Tocqville, Freud, Camus, Feurbach, Karl Marx. Ya daripada membaca Hasan Al Banna, Abul ala al Maududi, dan Sayyid Quthb. Ada yang salah? Bukankah Tuhan senang melihat muslimah pintar dan tidak hanya di dapur? Bukankah Tuhan melihat amal hambanya, dan bukan dari bacaannya?” Teka-tekinya persis seperti anak Filsafat yang suka makan logika daripada menguyah perasaan.
Sampai saat itu ia teringat, merenungi dialog antara dirinya saat kali pertama bertemu Sang Ikhwan lembut itu minggu lalu.
“Kenalkan saya Alika Reza dari Forum Mahasiswa Muslim UIN” Ucap Reza pasca mengucap salam di depan kos Siska. Reza sekuat tenaga menahan pandangan melihat soft lens oranye pada mata Siska. Cantik memang, juara Fashion Show Pakaian muslimah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, bulan silam.
Rambutnya berurai tanpa jilbab siap menggoda bujang lapuk plus tipis iman. Saat itu Arisiska hendak keluar. Sebuah jaket hitam sudah terpasang menutupi tubuhnya, memanjang hingga mencium tulang kering. Sisi kerahnya menjulang ke atas mengelingi leher dan ujung pipinya persis seperti orang Eropa di Musim dingin. Di tangannya tergenggam buku Anthony Gidens, Transfromacy of Intimacy. Anggun sekali. Maklum foto model freelance. Tapi jika sudah fashion show jilbab muslimah, ia siap melenggok menutup auratnya.
Arisiska sedikit tersenyum terpaksa, “Saya sudah kenal. Setahu saya anda mahasiswa Tafsir Hadits dan Fakultas Dakwah bukan?” balas pengusung Feminisme itu memancing.
Reza benar-benar kikuk. Ia tidak pernah melihat Siska secara dekat, sekaligus juga tidak berani. Candu syahwat bisa datang walau tak diundang.

Posisi ikhwan yang berajut dalam kepribadiannya harus ditahan melihat wajah ayu Arisiska. Reza hanya mampu bertasbih sekaligus beristighfar, bagaimanapun jabatannya adalah Ketua Umum Forum Mahasiswa Muslim UIN. Iman tidak boleh kalah dengan hasrat dunia. “Iya saya mengambil dua jurusan. Sebelumnya saya juga sudah kenal Arisiska di Jurnal Afkar, saya sering baca tulisannya. Suka Filsafat ya?”
Arisiska mulai grogi, “Saya dari Aqidah Filsafat, tadinya ambil dua jurusan salah satunya di Syariah program Perbandingan Mazhab Fiqh. Tapi cukup letih jadi studi Syari’ah terpaksa dipending dulu.”
“Ooo. Hebat ya?”
Senyum Arisika tipis.
“By the way, ada apa ya?”
“Begini, saya mengundang kawan-kawan BEM Ushuluddin untuk hadir di workshop kita bulan desember nanti” Tahan Reza hanya menunduk saja, tak berani menatap langsung wajah kemayu Siska lama-lama.
“Oh oke” Siska mulai welcome. “Temanya apa?” sambungnya.
“Konsep Islam dan Negara: Bedah dari Sayyid Quthb, Taqiyudhin An Nabhani, Abdullah Azam dan Abul ala Al Maududi”
Sudah naik level, kalau sudah urusan beginian, bau filsafatnya keluar, “Memang konsep negara Islam itu ada? Saya baru tahu. Ini kan bukan Kairo. Alexandria pun tidak merumput disini. Ini kan Jakarta, yang tidak ada Sphinx melingkarinya.” Tegas Siska membalas cepat-cepat.
“Bukankah Islam berlaku dimana saja, Siska?” Hentak Reza tegas tapi kalem.
Arisika masih cool, pertanyaan model ini gaweannya anak Akidah Filsafat yang bantar tidurnya memang buku. “Tidak! Islam adalah sejarah yang terus bergulir dan heurmenetika adalah jalan keluarnya. I think so” Arisiska mulai membaca surat undangan itu. “Aku rasa sebagai mahasiswa Tafsir, mata kuliah Metode Orientalisme sudah kau lewati?” Serang balik Siska tanpa aba-aba, matanya tetap memanah tempat dan waktu acara.
Reza gantian tersenyum.
“Maaf kalau aku agak aneh, maklum anak Filsafat”
“Ah tidak semua mahasiswa Filsafat aneh. Saya juga suka belajar Filsafat. Saya sudah kenal Siska dari tulisan-tulisan selama ini. Jadi tidak terlalu terkejut” Balas Reza.
“It’s oke. Aku hanya berfikir bahwa Islam tidaklah dapat dinilai hitam putih.”
“Inikah yang namanya Reza, mahasiswa alim itu. Anaknya amanah. Sejujurnya aku suka dia. Sebagai pribadi aku melihatnya sebagai bukan tipikal aktivis yang gemar mengkorupsi uang BEM pada jabatan bendahara Ushuluddin tempo lalu.” Kisah Siska diam-diam dalam nurani.
Reza mengguman di hati “Inilah yang namanya Arisiska, sering melihat tapi belum pernah berbincang. Semoga ini menjadi dakwah baginya. Arisiska hanya mahasiswi pencinta ilmu yang dikelilingi pemahaman berbeda. Insya Allah ini akan menjadi lahan dakwah.”
Buyar! Tayangan replay dialog singkat itu mesti diakhiri. Satu-satunya mahasiwi perempuan yang mampu menjadi leader tingkatan UIN itu menopang dagunya sambil menggigit-gigit kuku. Persis anak perempuan yang gelisah. Cinta itu aneh memang benar. Bahwa subyektitas yang menentukan seperti kata Soren Abye Kierkegard bisa jadi tidak keliru pada sela hatinya.
“Aku suka cendekia muslim itu. Atas gagasan Sayyed Naquib Al Attas-nya.
Bagaimana mungkin mahasiswi Aqidah Filsafat jatuh cinta kepada Mahasiswa semester akhir Tafsir Hadits yang matanya memerah setiap selesai shalat tahajud itu. Plato dan Aristoteles saja enggan berdamai. Apalagi Plato dengan Hasan Al Banna.

Di sekret FMM keramaian bergeliat.
“Kang, Arisiska, cantik ya? Tapi sayang sudah punya pacar kang.”
Reza menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menggunting kertas brosur acara untuk ditempel di tiap fakultas.
“Yee si akang, diem bae. Kumaha kang?”
“Ada apa memangnya? Kamu suka Rif?” Ledek Reza.
“Aiiih….. Saya mah enggak masuk hitungan dia kang. Saya mah aktipis, bukan aktivis. IP saya gundul kang. Kalau tidak 0,1 ya 0,2. Mepet..”
“Ya tidak apa-apa Rif, cinta kan tidak mempersyaratkan IP?”
“Zaman sekarang jangankan IP, nilai UAS aja jadi syarat ikhwan ngelamar akhwat, kang”
“Itu namanya, akhwat gokil et yahu dotkom, Rif. Masak komitmen cinta dikur dari UAS? Erich Fromm bisa nangis kalau begitu” Selonong Najib yang dari tadi mendengarkan.
“Hahahaha”
Belum sempat tawa mereka reda, sekonyong-konyong Anto lari masuk ke sekret tanpa salam. Nafasnya tidak teratur, naik turun.
“Gawat Za, Rif”
“Gawat apanya, Nto?”
Anto menyelipkan buku kecil tipis Keajaiban Al Qur’an di saku bajunya agar tangannya dapat menari-nari menguraikan kejadian.
“Kawan-kawan kita digebuki Kang sama mahasiwa Ushuluddin di belakang Psikologi saat isi kajian”
“Lho kenapa, apa alasannya?”
“Hhh…Hhh…hhh…” Anto kehabisan kata, ia letih bukan main.
‘Tenang Nto, katakan yang sejujurnya” Arah Reza rada cemas.
“Ada isu beredar, FMM bilang mahasiswa Ushuluddin itu Atheis. Isu itu entah siapa yang menyebar. Sepertinya ada permainan orang ketiga yang gak suka lihat kita bergeliat di UIN.”
‘”Brengsek. Lalu bagaimana kawan-kawan, Nto” Arif sudah kepalang kesal
“Kantor kita di Dirosah (Islamiyah) juga dihancurkan, Rif”
Mendengar kisah itu, tiba-tiba saja sekret FMM ramai-riuh. Anggota FMM meminta pertanggung jawaban BEM Ushuluddin yang seenaknya bertindak represif tanpa ada bukti. Kasus pelecehan Tuhan yang diduga oknum BEM memang sempat menguak. Area bebas tuhan, seperti yang terjadi di UIN Bandung.!”
“Ini tidak bisa kita biarkan” Sergah para anggota
“Ya maklum, menurutku ini tidak lebih karena ketua BEMF adalah perempuan yang tidak tegas kepada bawahannya. Pemikirannya pun kerap menghina Tuhan.”
“Kafir!!!!” Pekik Jaka, menggerak-gerakkan telunjuknya kedepan-belakang.
Mendengar nama Arisiska disebut-sebut, dada Reza bergetar. Ia tidak yakin Arisiska dalang dalam kasus ini.
“Arisiska adalah musuh Islam. Antek Amerika!! Darahnya halal.” Jaka pernah beradu argument masalah Pluralisme agama bersama Arisiska. Hasilnya dua sama. Bagi Jaka, skor-nya kosong-dua. Namun kata Arisiska, hasilnya 2-0. Vonis darah halal itu dibalas Arisiska dengan stigma bahwa intelektual Jaka cetek. Jaka tidak paham logika. Nalarnya cacat. Pemikir kolot. Absurd. Baru belajar Islam. Suruh ngaji lagi. Tirani abad pertengahan yang muncul dari kuburnya. Kawan-kawan diskusi Arisiska tertawa terbahak-bahak kala itu.
Kultur diskusi di UIN Jakarta saat itu amat massif. Segala jenis genre pemikir keagamaan bervariasi. Grup-grup diskusi ramai dihadiri. Banyak mahasiswa lebih menghabiskan kulahnya di sekret-sekret kajian, tinimbang dalam kelas bersama dosen killer.
“Oke nanti malam kita berangkat ke markas Ushuluddin” Pungkas Reza
“Tapi anak-anak Ushuluddin sedang ada pelatihan tiga hari ini” Arif memberikan info.
“Kita tunggu saja sampai mereka datang”

Dan di Puncak, saat pelatihan Filsafat bagi mahasiswa baru. Arisiska menulis konsep bagaimana Tuhan itu bisa ditembus dengan logika. Iya menulis lafazh ALLAH, lalu melingkarinya dan menulis kata terdakwa. “Pisahkan antara kesucian Tuhan dengan kebutuhan akal anda, di situ anda akan menemukan Tuhan. Jangan terjebak stigma Tuhan itu suci. Itu sama saja membunuh anda. Anda anak Ushuluddin. Harus kritis. Termasuk kepada agama anda sendiri.” Pungkas Arisiska dibalas anggukan adik-adik kelas.
Banyak para mahasiswa baru takjub dengan mahasiswi semampai ini. Cara ia mengajari mudah dicerna. Sontak hal itu memancing peserta sekedar bertanya, “Sudah punya pacar, kak?”
“Sudah?”
“Siapa, kak?”
“Michel Foucault (baca: Fuko)” sembur sebilah asap rokok di kedua wajah anak kencur itu. Arisiska bisa leluasa membuka jilbabnya disini.
Paul-Michel Foucault lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926. Meregang hidup di Paris, 25 Juni 1984. Filosof plontos ini adalah seorang filsuf Perancis, sejarahwan, intelektual, kritikus, dan seorang sosiolog. Bukunya yang terkenal adalah Sejarah Seksualitas. Pada buku itu, Michel Foucault mengungkapkan bahwa seks merupakan bagian dari ciri manusia sebagai makhluk yang berhasrat (desiring subject). Pada zaman Yunani kuno, masyarakat Yunani menempatkan hasrat seks menjadi bagian dari aktifitas yang sejajar dengan filsafat, ekonomi, dan manajemen kesehatan (dietetics). Foucault menunjukkan bahwa kegiatan seks pun mempunyai prestis yang tinggi.

Lambat laun, Reza tidak dapat memungkiri bahwa ada cairan empati masuk ke arterinya. Anehnya, kenapa harus dengan Arisiska. Kenapa tidak akhwat kampus yang berbaris banyaknya. Reza tidak mau mengurusi terlalu panjang. Namun sebuah pesan sebelum penggagas FMM, almarhum Akh Ahmad meninggal, sempat terlintas,
Ahmad berbaring di tempat tidur ruang emergency. “Akhi, tolong adik ana. Jika kemudian akhirnya ana meninggal. Afwan, ana titip adik si mata wayang ana kepada antum. Ana yakin dia akan berubah. Sadarkan dirinya, akhi. Ana yakin antum mampu. Nikahi jika memang antum ingin niat berdakwah. Mungkin kata-kata ini terdengar aneh nan berat. Sejujurnya ana sangat sayang kepadanya. Dia lah adik tercinta penopang amanah keluarga.”
Reza memeluk Ahmad dalam pembaringan. Ia sangat mencintai senior dakwahnya ini. Reza menguatkan hatinya dan menyeka air matanya. Kini Ahmad sebisanya menarik tangan Reza, lantas meletakkan sesuatu, “Akhi, kitab Ma’alim Fiththoriqh ini menjadi saksi bahwa cinta itu ada”
Tak berapa lama, Ahmad menutup mata menjemput RabbNya
Forum Mahasiswa Muslim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menangis. Telah tiada Ustadz muda pengkaji Fihud Dakwah itu. Telah tiada murabbi ilmu berumur 22 tahun itu. Sontak, pekikan haru jihad membahana seisi ruangan.
Semua mata ikhwan memerah, tak lama menangis keras. Mereka saling berpelukan meski air amata deras mulai menetas. Sayyid Quthb muda dari Ciputat itu meregang nyawa memegang musyaf. Ikhwan yang selalu bersemangat berdakwah kendati ditopang kursi roda. Telah pergi pilar Islamisasi Ilmu dari Gontor. Hafidz Qur’an. Taujih-taujihnya masih terekam membahana di Masjid Fathullah, depan kampus UIN.
Muhasabahnya mampu meluluhkan hati. Kakak kandung tersayang Arisiska menutup usia dengan senyum manisnya. Mahasiswa semester sepuluh Ushuluddin namun pengkritik keras Fakultas Ushuluddin dan Filsafat! Pengarang buku Izinkan Aku berjihad ke Palestina Meski Memiliki Sebelah Kaki yang menyerahkan seluruh royaltinya itu ke dunia Islam. Pengarang buku “Apa kabar Iman antum, saudaraku” yang ikhlash memberikan semua kost-nya bagi mahasiswa UIN yang tidak mampu.
Reza terharu. Murabbi, musyrif, guru dan ustadz-nya itu pergi meninggalkan kenangan indah merajut dakwah bil ilmi yang berat untuk level UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Betapa amanah dakwah itu tidak mudah. Kini Ia memojok sendu, mengingat pesan almarhum untuk mengawasi adiknya. Terpaan halus bayangan Arisiska memacu hatinya. Ujian Allah menyentuh titik lemah seorang laki-laki. Ia beristighfar, dambaan memiliki pasangan solehah dan pecinta Allah adalah keinginannya. Namun secara jujur ia juga harus mengakui, “Ana Uhibukki fillah ya, ukhti”.?





-Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi-
*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah, kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKELUMIT KISAH MAHASISWI JURUSAN TERTINGGAL “PGTK UNJ”

Game Level 2 Melatih Kemandirian Day 1

Game Level 3 Melatih Kecerdasan Anak Day 2