“Izinkan Aku Mencintaimu Walau Aku Liberal”: Ketika Filsafat dan Cinta Tdk Lagi Berjarak (Sebuah Novelet Filsafat Part II)

Pukul 18.20 setelah shalat Maghrib, sekretariat FMM yang berada di Student Centre UIN Jakarta sudah ramai dihadiri seluruh aktivis muslim. Mereka hari ini berencana menyambangi sekretariat BEM Ushuluddin setelah nota protes yang dilayangkan ke Arisiska tak kunjung dibalas. FMM sudah kepalang terendam amarah. Hari ini Arisiska harus segera ditemukan: “Hidup atau mati”. Hannah Arendt dari Ciputat yang kalau sudah bicara suka nyelekit. Menstigma kader-kader Forum Mahasiswa Muslim UIN adalah Antitesis Peradaban yang lebih cocok tinggal di Arab ketimbang menganggu keutuhan Pancasila di Indonesia. “Belum belajar Filsafat Sejarah Hegel dan Dekontruksi Derrida. Terlalu taklid dengan Imam Syafi’i. Orang-orang kaya Jaka itu nanti di neraka bingung. Ia bertanya-tanya kepada Tuhan, kenapa ia masuk neraka, sedangkan Bunda Theresa masuk Surga.”
“Hahahaha,” tawa terbahak-bahak kawan satu diskusinya. Arisiska memang selain terkenal pintar dan cantik, juga terampil melucu.
“Lalu apa kata Tuhan, Sis?”
“Tuhan malah mengutip pendapat Cak Nur.”
“Hahahahaha,” Gemuruh tepuk tangan kini membahana.

Sektretariat BEM Fakultas Ushuluddin dan Filsafat penuh sesak. Kantor mini yang berada di sekitar lantar dasar fakultas ini sedang menggelar surga buatan bagi satu-satunya agama yang tidak memiliki neraka: Filsafat Perenialisme! BEM Ushuluddin memiliki empat jadwal padat kajian tiap minggunya. Dimulai pada hari senin dimana tema akan bergulir mengenai Filsafat Politik.
Disini mereka banyak berdiskusi tentang kenapa Islam tidak butuh Negara. Kurikulumnya seperti mekanisme negara menurut Plato, sistem Politik dalam pandangan Aristoteles hingga gagasan tiranik Machiavelli. Rabu tema mulai mengarah ke arah wacana Islam Kontemporer. Materi tidak jauh-jauh seputar liberalisasi Islam, Heurmenetika, Dekonstruksi syariah, Homoseksual Halal, Poligami Jangan, Selingkuh Boleh. Untuk hari Kamis sendiri tema akan mengendap pada Isu kontemporer seperti demokrasi sampai isu RUU Pornografi.
Dari hasil kajian selama ini, alih-alih ingin membuat semangat mencintai Islam masuk ke sanubari tiap mahasiswa, yang terjadi justru sebaliknya. Ujung-ujungnya mahasiswa UIN kini mulai ragu apa benar Al Qur’an itu aseli dari Allah. Jangan-jangan Maalaikat Jibril salah maksud. Kalau yang masih moderat isunya berkisar pada tanya: Masihkah cocok Al Qur’an diterapkan pada zaman sekarang, sedangkan Karl Marx, Nietsczhe, Adorno sudah susah-susah menulis buku.
Kini pas hari Jum’at tiba, mereka serius untuk berbicara perihal Tuhan. Kesimpulannya bisa jadi dua: pertama, Tuhan tidak ada. Kedua Tuhan mungkin ada. Ya mungkin!
Arisiska berdiri di depan whiteboard dengan sebuah spidol. Di hadapannya kini sekitar dua puluhan mahasiswa jurusan Akidah Filsafat, Tafsir Hadits, dan Perbandingan Agama setia menunggu limpahan kata dari gadis pintar ini. Ia ingin menyadarkan kawan-kawannya bahwa pada dasarnya semua agama memiliki cita rasa kebenaran. Tergantung bagian lidah mana yang mencicipinya. Ditangannya masih tergenggam sebuah buku karangan Hans Kung, seorang filsuf yang gemar mengkampanyekan Pluralisme Agama dan baru-baru ini mengunjungi UIN Jakarta. Sebuah buku yang relatif tidak terlalu tebal untuk ukuran buku tentang Filsafat Ketuhanan. Sedangkan di bawah kakinya ada sekitar empat belasan buku mengenai perenialisme dan tema-tema ketuhanan lainnya.
Arisiska membuka diskusinya. Tangannya menari-nari menjelaskan. Gaya bicaranya agak berat dan menekan, “Islam tidak bisa mengklaim dirinya paling benar. Kristen begitu pula. Termasuk Hindu-Budha. Tuhan-tuhan dalam agama itu adalah tuhan historis. Konsekuensinya bahwa Islam dengan ibadah shalatnya, Kristen dengan ibadah gerejanya, dan Hindu dengan ritual kuilnya adalah sederet institusi formil yang berbicara pada wilayah eksoteris belaka. Jadi, Islam dan agama-agama lainnya sebenarnya menuju pada tuhan yang sama, hanya saja memiliki cara-cara berbeda. Pada intinya agama-agama ini memang berbeda, namun kalau kita dalami, mereka sebenarnya memiliki visi serupa, yakni sebuah kepasrahan kepada ketentraman dan komitmen pada kedamaian. Inilah yang disebut filsuf seperti Fritjof Schuon dan Rene Guenon (Baca: Gino) dengan istilah Perenialisme.”
“Agar kawan-kawan tidak bingung, bisa kau jelaskan dari mana istilah Perenialisme itu. Karena selama ini kami hanya tahu pluralism dan theosofi. Sebagai dampak dan akar perenialisme?” Tanya Reno, mahasiswa Akidah Filsafat semester tiga.
“Istilah philosophia perennis (filsafat perennial) ini sendiri digunakan pertama kali oleh Agostino Steuco, seorang pustakawan Vatikan dan Kristen Platonik. Ia menulis De perenni philosophia pada tahun 1540 yang didedikasikan kepada Paul III. Ia memaparkan dalam karya tersebut pemikiran Marsilio Ficino, tokoh penting dalam asal mula Tradisionalisme.”
Semua peserta diskusi yang rata-rata pencinta buku itu masih mencerna-cerna.
“Kita diskusi mengalir saja. Tidak perlu serius, tapi bisa santai. Ada yang mau bertanya lagi disini?” Ungkap Arisiska bersoftlense oranye itu.
Rahmat angkat tangan. Kakinya bersila sambil melinting batang tembakau di jemarinya. Khas anak Ciputat yang suka selingkuh.
“Ya silahkan Rahmat,” arah Siska datar.
‘’Lalu apakah dengan begitu konsep Perenialisme ini dapat menjamin kerukunan antar beragama? Mengingat walaupun tiap-tiap agama telah kita satukan sekalipun toh agama tetap saja memiliki klaim-klaim teologis yang tak bisa kita hindari. Contohnya dalam Islam Nabi Isa tidak di salib, namun dalam Kristen justru sebaliknya. Dalam Islam yang mengakui tuhan ada tiga itu kan kafir. Sedangkan Kristen, tidak mengakui kenabian Nabi Muhammad adalah keharusan. Bagaimana mungkin kita bisa menjembatani kedua hal ini? Sedangkan Islam dan Kristen dari sisi teologis memberikan ruang cukup paradoks.” Tanya Rahmat, wakil ketua BEM Ushuluddin. Anaknya cukup pintar, ia berencana mengambil S2 di Leiden University. Kakak kelasnya di Paramadina sudah lebih dulu berada disana.
“Baiklah. Aku akan menjawab pertanyaan dari Rahmat. Aku bisa sarankan kamu untuk bisa membaca buku-bukunya Guenon. Guenon memecahkan permasalahan yang seperti Rahmat utarakan dengan membagi perenialisme pada empat ciri mendasar.”
Arisiska mulai menulis berurutan di papan tulis, “ 1.
The unity of God. 2. The Trinity of the manifested God. 3. The hierarchy of beings. 4. Universal brotherhood.”
Matanya kini kembali menatap Rahmat, nah mengacu kepada yang empat itu, Islam akhirnya dalam pandangan perenialisme, bisa jadi hanya benar bagi orang Islam saja. Kristen tidak bisa memaksakan agamanya kepada Islam. Begitu pula Hindu kepada Yahudi. Karena pada dasarnya semua agama sama. Bahwa Nabi Isa tidak disalib iya. Tapi kita wajib lebih mendahulukan relogio etik disini, ketimbang teologi tiranik. Kalau sudah begitu, kebenaran itu akhirnya akan bermuara pada apa yang disebut Schuon dengan wilayah esoterisme. Dengan begini kita tetap bisa menyatukan semua agama tanpa mengusir kebenaran pada masing-masing agama. Nah kalau kita sudah berpandangan seperti ini. Kita yakin tidak ada lagi klaim sepihak dan kekerasan antar agama. Karena agama dalam hal ini menjadi relatif. Tetapi tetap dinamis. Tanpa menutup ruang untuk mengeksistensikan kebenaran masing-masing. So, inilah yang saya maksud dengan.. ”
Arisiska mengambil spidolnya kembali dan menulis besar-besar di papan tulis “Absolut yang terelatifkan, dan relatif yang terabsolutkan.”
Rahmat terpukau. Menurutnya sanggahan Arisiska cocok bagi orang-orang literalis dan skriptualis yang sering menanyakan itu kepadanya. Alhasil, mulai detik itu ia jatuh hati. Jatuh hati pada seorang perempuan yang sudah dianggap Guru Besar Filsafat meski baru semester lima.
Sementara itu di sekret FMM, sahut-sahutan sudah mulai menggelora. Kawan-kawan mendesak agar FMM melakukan tindakan pembalasan atas tindakan keji BEM Ushuluddin. Nyali Alika Reza sebagai ketua akan dibuktikan disini. Mereka semua meminta Reza minimal melayangkan pembalasan setimpal agar pemukulan dibalas pemukulan. Foto wajah bengap anggota FMM yang dipukuli kini dipasang pada tiap fakultas dari mulai Psikologi sampai Sains dan Teknologi. Lengkap dengan kop bertulis, “Inikah hasil dari diskusi Filsafat selama ini?”
Isu beredar bahwa tindakan represif itu diprovokatori Arisiska yang tidak diterima dibilang kafir dan pelacur oleh Jaka. Arisiska tersinggung berat. Ia ngotot tidak diterima dihina serendah itu oleh mahasiswa semester lima Fakultas Adab dan Humaniora yang masih bau kencur mengeja Islam menurut Arisiska. Sedang Jaka berucap bahwa hal itu wajar, “Memang Arisiska pelacur kok. Saya lihat tiap hari ia menerima uang dari salah satu Negara Eropa Barat.” Urai Jaka.
“Iblis betina. Antek Liberal.” Sahut lainnya
“Usir Arisiska dari UIN,” timpal rekan sejawat Jaka
“BEM Ushuluddin perusak akidah mahasiswa baru.”
“Antek Dajjal”
Dan sumpah serapah lainnya yang tidak putus-putus.
BEM Ushuluddin kini terpojok. Mereka yang selama ini terkenal anti kekerasan, cinta damai, pengusung ide kerukunan antar umat beragama, ternyata terbentur pada slogan.
Tindakan main hakim sendiri empat hari lalu meruntuhkan stigma itu semua. Kini, seluruh anggota FMM dan berbagai elemen mahasiswa muslim di UIN telah berkumpul di satu titik yang sama: Depan Student Centre UIN. Bendera Laillahailallah berkibar menampar-nampar udara bak panji-panji Shalahuddin Al Ayyubi membentang di bibir Palestina. Satu langkah kini berjalan, mereka serentak berjalan diikuti pekikan takbir menuju sekret BEM Ushuluddin dan Filsafat. Barisan terdepan terlihat sangat bersemangat. Iya mereka justru mahasiswa Ushuluddin sendiri. Ada Jaka dan beberapa kawan kelasnya. Namun tidak lebih dari lima orang. Mereka baris beraturan sambil membentangkan spanduk berwajah Arisiska dan gelimangan dolar di sekelilingnya.
Sedangkan di sekret, kajian masih terus berlanjut. Suasana makin memanas. Arisiska meletakkan jaket hitamnya di meja ruang sekret BEM Ushuluddin hingga menyisakan kaos putih bergambar Imanuel Kant di tengahnya. Waktu maghrib mereka lewati dengan mengindahkan untuk mendirikan shalat. Baginya, shalat tidak bisa dijadikan ukuran bahwa manusia itu cinta Tuhannnya atau tidak. Apalagi inti shalat adalah pengabdian kepada Allah sekaligus mengingatnya.
“Jadi Ibadah itu macam-macam. Diskusi juga ibadah, malah tingkat kekhusyukannya lebih tinggi dari shalat. Berfilsafat itu adalah dzikir paling elegan untuk mengingat Tuhan. Jadi orang yang namanya Immanuel Kant itu lebih soleh ketimbang anak dakwah kampus. Jangan heran kalau David Hume lebih sering menangis jika mengingat Tuhan ketimbang sederetan mahasiswa yang sering memanggil kawannya Akhi, Ukhti, Ekhu itu.”
“Hahahaha…” tepuk tangan seluruh peserta diskusi. Tawa mereka riuh merespon Arisiska menyindir Lembaga Dakwah Kampus Syarif Hidayatullah.
Ruang sekeretariat ini sebenarnya hanya berlebar 10×10 meter. Tapi selalu penuh sesak karena massifnya kajian Filsafat rutin disini. Di dindingnya ada sebuah moto besar berjudul terang: BUAT APA KITA BERTUHAN, JIKA TUHAN SENDIRI SAJA TIDAK BERTUHAN!! Sedangkan di sampingnya terbentang foto Arisiska tengah memberikan orasi di depan gedung DPR menolak disahkannya RUU Pornografi. Saat itu Arisiska berteriak lantang, “Buat apa kita sibuk mengatur cara pakaian perempuan jika Tuhan sendiri juga mencintai keindahan. Ingat Pak Ustadz, Tuhan tidak pernah melihat keshalehan hambanya dari aurat, tapi dari amalnya.” Dan sebuah piagam besar pemberian sebuah kedubes Asing berdiri disampingnya: “Selamat Atas Terpilhnya Arisika Lenila Wahid Sebagai Srikandi Hak Asasi Manusia.” Ya gadis pintar, tapi menampar. Pecinta diskusi luar biasa untuk ukuran mahasiswi UIN seusianya. Selingkuhan abadi Michael Foucoult yang kadung membuat banyak mahasiswa ateis menyesal baru kali ini tidak bertuhan.
Saat Arisiska sedang akan menutup kajian, tiba-tiba dari luar sekret mulai terdengar keramaian. Sahut-sahutan mulai bergulir. Tadinya satu orang, lama kelamaan disusul satu bundel barisan mahasiswa memanjang membentangkan spanduk bertuliskan, “Pluralisme Agama Bukan Bagian Dari Islam.”
Sekret BEM Ushuluddin panik bukan kepalang. Mereka menghentikan sejenak tawanya. Kepala mereka beradu mencuri-curi pandangan dari jendela melihat situasi mulai penuh kegaduhan. Sedang mereka sendiri tidak tahu apa yang terjadi.
Ketika telah sampai di depan sekret, Jaka menyuruh temannya berhenti memekikkan yel-yel. Satu buah jarinya menyangga kelima jarinya membentuk payung petanda Jaka meminta kawan-kawannya berhenti bersuara.
Rahmat selaku wakil ketua BEM maju ke hadapan. Ia adalah teman satu kelas Jaka di jurusan Tafsir Hadits.
“Saya mencari Arisiska bukan kamu,” imbuh Jaka memegang balok.
“Ada urusan apa kamu dengan Arisiska? Kalau berani sama laki-laki jangan perempuan,” tantang Rahmat berbadan agak jangkung dan berambut ikal. Ia mantan Preman di sekitar Situbondo.
“Aku tidak urusan denganmu, Mat. Minggir kamu,” halau Jaka melempar tubuh Rahmat yang dibalas Rahmat menarik lengan Jaka.
“Kau lewati dulu mayatku!
Sebelum kau ingin bertemu ketua kami!” Tunjuk Rahmat tepat ke mata Jaka.
Dari arah belakang, Arif mahasiswa Fakultas Psikologi semester tujuh meminta keberanian Arisiska untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, “Ariska keluar kau. Berani berbuat berani bertanggung jawab dong.”
“Betul. Tunjukkan batang hidungmu kalau berani,” Sergah Anto. Kawan satu kos Alika Reza. Anto adalah perwakilan
Fakultas Dirosah Islamiyah. Kantor FMM di fakultas yang online dengan kurikulum Universitas Al Azhar Kairo ini hancur berkeping-keping.
Suasana semakin meruncing. Aroma bentrokan semakin kuat. Rahmat dan kawan-kawan mulai melakukan border melindungi pintu masuk sekret. Sementara Situasi Ciputat ramai riuh. Peserta Paduan Suara Mahasiswa UIN yang sedang latihan di samping sekret BEM lari berhamburan menjauh dari tempat kejadian. Duel akan berlangsung seru. Sayyid Quthb VS Immanuel Kant. Al Ghazali VS Descartes. David Hume VS Al Kindi. Islamisasi VS Dekonstruksi.
Para mahasiswa ekstensi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang baru keluar dari perkuliahan turun rembug melihat dua kelompok massa sudah saling berhadapan. Mereka terpecah antara bergabung ke BEM dan masuk dalam lingkuran FMM. Situasi ini mirip seperti momentum bentrok fisik setelah Pemira pada tahun 2004 (sampai kini juga masih sering terjadi) silam antara Partai Reformasi Mahasiswa dan Partai Persatuan Mahasiswa. Dua basis kekuatan politik terbesar di UIN Jakarta.
Sementara elemen mahasiswa muslim yang tergabung dalam FMM terus mendesak, “Buka…buka..buka.. buka border-nya.”
Arisiska terkepung, sedang Rahmat menoleh ke belakang meski tangannya tergenggam kuat mempertahankan border.
“Tahan dirimu di dalam Siska. Aku akan menjagamu disini.”
Untuk menghindari konflik, Arisiska akhirnya menepis imbauan Rahmat. Ia memberanikan diri keluar dari peraduannya, berjalan lembut sambil merapihkan jaket hitam ketatnya persis Anna Freud keluar dari ruang prakteknya: Ayu dan tampak tak berdosa. Arisiska mengangguk kepada teman-temannya agar tidak terpancing emosi. Kini ia telah berada di depan Jaka, “Ya ini saya. Ada perlu apa?”
Jaka tersenyum sungging, “Akhirnya keluar juga dalang dari semua skenario ini. Pembual sejati. Mengaku bagian dari pengusung nirkekerasan (baca: ide tanpa kekerasan).
Ternyata tulisan-tulisanmu selama ini hanyalan isapan jempol belaka. Murahan sekali kau Lenila. Cantik tapi berhati iblis. Berapa dolar kau dibayar Eropa?”
Pemilik nama lengkap Arisiska Lenila Wahid itu mengeyampingkan wajahnya.
Kedua tangannya terlipat. Dengan tenang, ia balik tersenyum. “Selamat Datang Skriptualis. Pecinta Teks. Pemikir Kolot Abad 21 yang hanya bisa menggerutu tanpa ilmu. Tiranik abad pertengahan yang bangkit dari kuburnya. Maaf ini bukan Vatikan. Aku bisa mengurus perizinanmu untuk pindah dari Indonesia. Berapa hargamu?” balas Siska pedas.
“Ow.. bukankah kau yang selama ini punya standar bayaran wahai pelacur?”
Arisiska melepas lipatan tangannya. Kedua softlense oranye di matanya tiba-tiba terdiam. Ia naik pitam mendengar stigma hina bagi seorang perempuan itu terbentang di hadapannya. Ia menunjuk wajah Jaka dengan satu telunjuk terpantau lurus, ”Jaga omonganmu. Hati-hati kalau bicara.”
“Kalau kau memang tidak merasa, kenapa harus marah?”
“Aku tidak pernah mencari uang haram demi kebutuhanku.”
“Owwh mendekat ke Negara adidaya itu dan meminta segenap dolar untuk membunuh Islam kau pikir bukan pekerjaan haram? Owwh semoga aku tidak menyesal kau telah menjadi Presiden BEM saat ini.” Jaka bertepuk tangan seraya tersenyum lalu menoleh ke arah kerumunan kawan-kawannya.
“Hahahahaha…” Gantian Arisiska kini menjadi bahan tawa.
Arisiska sudah mati sabar, ia melempar dengan kencang sebuah buku ke wajah Jaka,
“Bruuk..”
Jaka memegangi wajahnya. Ia tidak terima dilempar buku oleh Arisiska, “Dasar jalang.”
Dan Jaka balik mengangkat tanganya ke langit dan siap menampar wajah kecil Siska.
Arisika menutup muka dengan kedua tangan,
Saat tangan Jaka hampir tiba di muka Siska, tiba-tiba dari belakang Reza menahan tangan Jaka.
“Tahan emosimu, Jak. Kita boleh kesal. Tapi kita selesaikan masalah dengan baik. Bagaimanapun Arisiska adalah adik dari Almarhum Akh Ahmad.”
Melihat kehadiran Reza, Siska terdiam. Ia menaikkan wajahnya. Ia tahu betul siapa pria yang di depannya ini. Pria satu-satunya yang menyanggah tulisannya tentang Rasionalisme Descartes dengan genangan artikel dua puluh lembar yang menyala-nyala. Berjudul terang tapi tetap lembut: Kesalahan Saudari Arisiska Dalam Membandingkan Rasionalisme Descartes dan Al Ghazali. Iya, dua kakak beradik dari orangtua kandung bernama ilmu.
Reza dan Siska beradu pandangan, dan Reza membenamkan wajahnya. Ujian ini menyentuh titik terlemah seorang laki-laki sepertinya. Ia sadar bahwa ia adalah seorang leader di FMM. Statusnya adalah ikhwan. Reza berada dalam posisi dilemma. Ia harus memilih antara hatinya dan prinsipnya. Ia tidak sadar mana yang menjadi keladi rasa cintanya kepada Arisiska. Apakah kepintarannya, kecintaannya terhadap ilmu, atau jelitanya. Namun yang pasti ucapan almarhum Akh Ahmad sebelum wafat selalu mengiang di tiap istikharahnya, “Akhi titip adik ana. Sadarkan ia. Nikahkan jika memang antum ingin berdakwah kepadanya. Mungkin permintaan ini terasa aneh. Tapi percayalah akhi, ini adalah suara lubuk hati dari nurani seorang kakak yang tak tega melihat sang adik sedang terkena tipu daya dunia. Sungguh Arisiska adalah adik perempuan kami satu-satunya pengemban amanah keluarga. Berjanjilah Akh Reza, kitab Ma’alim fiththriqh ini menjadi saksi bahwa cinta itu ada.”
Reza ingin menangis menyadari betapa beratnya ujian Allah. Ya berat karena tepat menghantam titik lemah dirinya. Penggiat Islamisasi Sains dan Sayyed Naquib Al Attas Muda dari Ciputat itu akhirnya menangis dalam hatinya. Mengungkapkan perasaan jauh lebih sulit ketimbang melukis pemikiran.
Reza mengambil buku yang dilempar Arisiska ke wajah Jaka. Ternyata kitab Ma’alim Fiththoriqh itu. Dan Reza mengangkat kepalanya menghadap Siska.



 
-Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi-

*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah, kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKELUMIT KISAH MAHASISWI JURUSAN TERTINGGAL “PGTK UNJ”

Game Level 2 Melatih Kemandirian Day 1

Game Level 3 Melatih Kecerdasan Anak Day 2