“IZINKAN AKU MENCINTAIMU WALAU AKU LIBERAL”: KETIKA FILSAFAT DAN CINTA TIDAK LAGI BERJARAK (Part III)

Hebat sekali filsafat itu bahkan menimbulkan takut dan segan orang lain yang merasa jiwanya terlalu kecil buat menghadapinya. Beribu-ribu buku dikarang, beribu-ribu ahli pikir mengeluarkan pendapatnya terkadang ada setengahnya manusia yang saking asyiknya dengan filsafat, sehingga dipandangnya bahwa agama hanyalah perkara kecil yang tidak menarik hati, sebab lekas beres! (Buya Hamka, Pelajaran Agama Islam)

 

Arisiska terdiam. Reza menahan kata-katanya. Ia mencoba sesabar mungkin menghadapi Arisiska. Dengan penuh empati, Reza mencoba menyadarkan,

“Andai kakakmu masih hidup. Engkau akan tahu betapa sakitnya ia memiliki adik sepertimu.

Adik yang diamanahkan oleh keluarga untuk mengemban amanah Islam. Kamu adalah adik perempuan satu-satunya, Arisiska. Dibesarkan dalam kultur santri di Jawa Timur semata-mata kelak keshalehahanmu lah yang mengantarkan kedua orangtuamu berlipat amalnya.”

Reza ingin menghindari konflik. Ia berbalik badan memunggungi Arisiska seraya berbicara kepada seluruh kawan-kawannya, “Mari kita semua pulang.”

Panji-panji FMM kemudian diturunkan. Satu persatu kader binaan Reza itu mulai meninggalkan tempat perkara. Ia berjalan pasti meninggalkan Arisiska seorang diri. Ciputat mendadak bungkam. Gedung Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang berlantai tujuh berhenti berderap. Angin sepoi-sepoi menambah suasana dingin. Pepohonan di tengah taman fakultas melambai-lambai dipeluk angin. Reza akhirnya benar-benar meninggalkan Arisiska seperti Carl Gustave Jung tidak ingin lagi bersahabat dengan Sigmund Freud hanya karena beda pendapat.

Ya penggemar Taqiyudhin An Nabhani dan Said Hawa itu berjalan penuh kepastian dengan satu doa terucap: kelak gadis itu sadar atas tingkah lakunya selama ini.

Tidak puas atas sikap Reza, Arisiska mengejarnya dari belakang.

“Apakah salah jika aku berfilsafat?”

Langkah Reza tertahan. Tiba-tiba mulutnya tidak bisa menjawab. Ia seperti seorang remaja berumur 14 tahun dalam novel Dunia Sophie yang tak bisa berkata-apa ketika mendapati surat-surat misterius menumpuk di rumahnya. Reza baru sadar jika Arisiska adalah filosof. Bahkan sudah kadung dianggap nabi oleh sebagian mahasiswa Ushuluddin. Satu-satunya nabi berkelamin kemayu yang menyebarkan agamanya dengan memakai cinta, bukan bahasa.

“Apa aku salah meminang akalku untuk mencari kebenaran?” ucap Arisiska lirih dan kemudian berubah cepat saling menyambung, “Ketika orang sudah berlari jauh, ketika Eropa sudah tercerahkan, dan ketika Yahudi sudah jauh meninggalkan kita.”

Arisiska berhenti bersuara lalu menyeru dari belakang,

“Jawab Akhina Reza? Reza yang kukenal adalah teman baik kakakku dan selalu berkata bahwa umat Islam tidak boleh mati dengan status bodoh.”

“Tidak ada yang salah dengan Filsafat, Arisiska.” jawab Reza masih membelakangi.

“Lalu kenapa aku selalu keliru di matamu?”

“Karena Filsafat adalah metode berfikir, sedangkan Perenialisme dan Heurmenetika adalah wacana.” Jawab Reza cool.

“Ahhh……”

Reza kemudian berbalik badan. Ia menjawab dengan gaya bicara yang nyaris melukai retorika Sayyid Quthb, “Islam tidak pernah melarang hambanya berfikir. Ia adalah rasionalitas tertinggi dalam peradaban. Yang menjadikan akal sebagai fondasi maknawi dengan ikatan Wahyu. Islam-lah satu-satunya agama yang berani menantang Yunani ketika Romawi terjajah hegemoni aqli. Rasionalitas itu jauh melampaui peradaban modern kini. Sebab ia sudah mendamaikan sengketa akal dan inderawi sejak zaman Al Ghazali, Al Kindi, Al Farabi, hingga gemintang Filosofi Qur’ani yang terlukis dalam derap nafas Ibn Qayyim Al Jauzi.”

Tubuh Perempuan adalah sebuah panggung drama. Demikian diungkapkan oleh Simone de Beauvoir (1908-1986), seorang feminis yang terkenal dengan bukunya, The Second Sex “Bangkitlah wanita peradaban dari keterpurukanmu atas keterjajahan Barat yang tidak ada apa-apanya dalam Islam. Dari satu simpul ke simpul lain saat tauhidi lepas ditanganmu. Ketika filsafat menjauhkan manusia dari kebahagiaan karena tidak disertai bimbingan wahyu. Esensi filsafat Islami jauh mendalam daripada itu. Sebuah aktivitas berfikir yang sudah satu paket membawa manusia tentram hingga kelak badan kita sudah membiru.”

Arisiska berkata lirih, “Apakah kau fikir aku selama ini tidak beradab? Apakah karena aku memiliki bacaan berbeda denganmu lalu kau bisa men-just aku tidak bertauhid?”

Reza tidak mengerti. Ia tidak maksud seperti itu.

“Andai engkau pun tahu kenapa aku menjadi seperti ini?” ringkih Siska dengan gambar Immanuel Kant setia menggantung di bajunya. Poninya keluar melambai-lambai di tiup angin persis feminis sedang sakit hati.

“Aku tidak bermaksud seperti itu?”

Arisisika menatapnya nanar lalu pergi. Berjalan dengan limpahan haru mendalam menyisakan aroma kesedihan. Hegelian muda itu terdampar di belakang Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, meratapi dirinya sendiri yang tidak lebih hina dari seekor anggur.

“Haruskah ukuran moral baik dan benar seorang wanita dilihat dari bacaannya? Ada yang salah dengan filsafatku? Apakah salah jika aku bertanya apakah tuhan itu ada? Bukankah Tuhan Maha Pengasih dan tidak perlu tersinggung dengan ucapanku.”

Limpahan tangis kembali bercecer di matanya. Presiden BEM Fakultas Ushuluddin yang biasanya berteriak lantang itu kini membisu. Tidak ada lagi ucapan-ucapan lantangnya menolak RUU Pornografi. Tidak ada lagi kata-kata bernyalinya menyatakan lesbianisme adalah hak tiap wanita. Tak terdengar lagi erangannya meminta wanita boleh memberi talak kepada suaminya.”

Hingga tiba-tiba HP nya berdering.

“Ada dimana kau nak? Cepat pulang ibu butuh kamu. Uhuk…” Tanya sang Ibu yang genap berumur lima puluh tahun.

Arisiska berdiri dari duduknya dan mengelap airmatanya, “Ibu kenapa? Ibu baik-baik saja?”

“Klik” HP nya mati.

“Halo..halo..”

Arisiska didera ketakutan. Ia menyadari ibunya sedang diuji dengan penyakit misterius, Kankernya sudah memasuki stadium empat. Arisiska lari ke rumah menancap motornya menuju kediamannya di sekitar Ciracas, Jakarta Timur. Di dalam rumahnya sudah banyak tetangganya duduk di samping ibunya.

“Ada apa dengan ibuku?” Tanya Siska gelagapan sambil membuka helm.

Bu Salimah tentagga dekat Arisiska mengatakan, “Kanker ibumu semakin parah, nak Siska. Ia mesti cepat dibawa ke Rumah Sakit.”

“Apapun akan kulakukan demi keselamatan ibuku.”

Bunyi serene ambulance meraung-raung mengantar tubuh ibunda ke Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta. Arisiska mengantarnya hingga tepat di pembaringan opname. Hari ini betul-betul hari terberat dalam hidupnya. Namun setidaknya senyum seorang anak kecil cukup membuatnya tenang.

“Oppps.. apa kabar adikku?” Ucap Arisiska menggendong tubuh besar sambil mengecup kening adik autisnya. Rasa letihnya beraktivitas seharian terbayar jika sudah bertemu dan mencumbu adik bungsunya yang berumur delapan tahun itu. Sudah tiga tahun ini Arisiska dan almarhum kakaknya menghabiskan ratusan juta membiayai terapis panggilan untuk men-threat sang adik tersayang. Arisiska bertekad akan melakukan apa saja. Rela mati asal adiknya lepas dari belenggu autis.

Hingga kemudian senyumnya sedikit mengecil menyadari darimana uangnya selama ini berasal. Kata-kata pelacur dalam ucapan Jaka sontak mengisi relung pikirannya. Arisiska sadar. Ia memang pelacur. Bukan untuk tubuh, tapi pemikiran. Apalah daya ia terdesak.  Nurani bisa dibeli dengan cita-cita tentang arti ekonomi keluarga. Ia sadar telah menjilat asing, melawan fitrahnya sendiri: Sebuah tindak fatal dalam Islam. Arisiska sadar, balasan orang munafik adalah nyala api neraka.

“Apapun akan kakak lakukan demi senyum bahagia kamu, nak.” ucapnya haru menciumi Rama tak mau lepas dari pelukannya. Menempelkan pipinya lalu mengusap punggung adiknya. Rama adalah anak kecil pengidap autis. Orangtuanya terlambat mengidentifikasi gangguan pervasif yang jamak menimpa anak kecil ini. Alhasil baru pada umur 5 tahun Rama positif ditengarai mengidap autis. Sebuah tindakan identifikasi yang tidak hanya terlambat. Tapi blunder. Sebab seharusnya kita sudah mengetahui seorang anak mengidap autis pada umur dua tahun jika tidak mau situasi kian memburuk.

Kini, sehari-harinya Rama hanya sibuk memainkan gambaran-gambaran binatang, alat imitasi mobil, dan perangkat makanan. Kesemuanya adalah alat latihan pengenalan subyek pada terapi autis dengan pendekatan behavioristik. Arisiska selama ini memanggil pelatih professional dari Belanda yang memiliki link dengan Pusat Terapi Autis di Amerika. Per bulan ia meski merogoh kocek sebesar 3.500 USD. Nilai nominal yang sangat berat bagi perempuan sebatang kara yang sudah dianggap memiliki dua jenis kelamin bagi adik-adiknya.

Arisiska mengangkat adiknya ke awan, “Apapun akan kulakukan demi cinta kakak padamu,dik.”

Rama pun hanya diam saja. Ia sudah bisa tersenyum walau sedikit.

Belum reda keletihannya, tiba-tiba HP di sela celananya kembali berdering.

“Kakak, bagaimana dengan ibu?” Panggil Fadlan adik laki-laki Arisiska menelepon dari Bandung.

“Ibu baik-baik saja, kakak sudah mengupayakan untuk secepatnya melakukan operasi.”

“Tapi, dari mana uangnya kak? Biar Fadlan ikut bantu dari Bandung.”

“Tak usah kau pikirkan itu, dik. Kau fokus saja belajar. Jangan kau risaukan kondisi ini. Biar kakak yang menanggung semuanya. Bagaimana kuliahmu?” Arah Siska mengalihkan perhatian.
“Kak…. minggu depan Fadlan mesti bayar uang cicilan kuliah. Tiga hari lagi ada praktek di Jogja. Kakak ada sisa tabungan, Fadlan ingin meminjam.”

“Apa maksudmu? Sejak kapan aku mengajarkanmu untuk meminjam uang kepadaku. Uang kakak adalah uang kamu juga.”

“Aku tahu kesulitan kakak selama ini. Jerih payah kakak bekerja hingga larut malam demi kesejahteraan kami. Biarkan aku meminjam atau aku cari sendiri. Aku tidak ingin merepotkan kakak.”

“Keperluan praktek apa yang dibutuhkan Fadlan?”

“Fadlan mau beli alat mesin untuk keperluan kuliah, kak.”

“Jadi butuh uang berapa?”

“Dua puluh lima juta.”

Institut Teknologi Bandung (ITB) memang tergolong mahal. Untuk pendaftaran tahun ini saja, minimal calon mahasiswa baru meski merogok koceh 1,2 juta. Itupun belum tentu diterima.
“Mahal sekali?!” kaget Arisiska sejadi-jadinya.

“Kalau tidak dibayar, Fadlan tidak bisa praktek, kak.”

Arisiska terdiam mendengar kulminasi rupiah itu menggelinding di otaknya. Sekejap Arisiska beralih untuk memikirkan bagaimana cara menutupinya.

“Kakak kenapa?”

Dalam kondisi seperti ini, Arisiska membesarkan hati adiknya, “Jangan kau pikirkan masalah uang itu. Sudah sepatutnya seorang kakak membiayai sekolah adiknya. Kakak mana yang tidak senang melihat adiknya sukses. Kakak mana yang tidak ingin melihat adiknya bahagia. Berkembang menjadi laki-laki muda kebanggaan keluarga. Catat janjiku, aku akan mengantarkanmu menjadi sarjana terbaik ITB dengan pekikan terkeras di dunia.”

Fadlan berderai haru, “Terimakasih, kak. Semenjak ayah dan kak Ahmad tiada, Kak Arisiska lah yang selama ini mencari uang untuk kita semua. Kakak lah yang membimbing kami. Perempuan muda terbaik UIN yang sudah kutekadkan bahwa seluruh cintaku hanya tertumpah untukmu. Catat janjiku. Aku akan lulus sebagai sarjana terbaik ITB dengan hasil peneltian terbaik seluruh kampus. Aku akan tulis namamu dengan pena besar di Mesjid Salman tentang hakikat perjuangan seorang kakak berelamin perempuan yang telah menjadi ayah bagi kami semua.” ucap Fadlan yang juga Ketua Lembaga Dakwah Kampus Fakultas Geologi ITB.

Dan satu tetes airmata Arisiska kembali jatuh. Ia tidak sanggup berakata apa-apa. Saldo rekeningnya sudah menipis. Tiga minggu ini ia harus mendapatkan proyek. Mengingat ia juga telah tiga kali absen mengirim tulisan di Jurnal Filsafat Ketuhanan di salah satu Universitas tenar di Eropa. Perjanjian kontrak pada salah satu yayasan orientalis meminta komitmen Arisiska untuk membumikan Dekonstruksi dan Heurmenetika dalam Studi Islam. Melambungkan ajaran Feminisme sebagai acuan kepribadian wanita. Sampai menuntut pembebasan tidak mengenakan jilbab di UIN.

Arisiska berada pada posisi sulit. Bayangan ucapan Reza tadi bersanding bersama ibu dan kedua adiknya. Bagai menara gading. Sama tinggi-sama rendah. Kini segalanya harus dipertaruhkan. Mata Arisiska berembun. Isyarat ada galau di hati.

”Andai aku terlahir kaya dan tidak papa. Aku sudah siap menjadi muslimah sejati yang siap kau pinang, Reza.”

Arisiska tergeletak meratapi situasi pahit ini. Ia menelepon salah satu kerabatnya meminta kepastian adakah proyek yang bisa ia jalani.

“Kamu bisa menulis tentang Filsafat Wanita? Sigmone De Beauvoir?” Tanya seorang wanita bule dengan bahasa Indonesia cukup fasih.

“Aku siap,” balas Arisiska mantap.

“Baiklah, kaitkan pemikirannya dengan alasan kenapa wanita Indonesia tidak perlu menikah.”

“Ah anda gila?”

“Lima ribu Dollar?”

“Aku minta lebih.”

“Tujuh ribu?”

“Sepuluh ribu! Aku akan membuat tulisan feminisme sebaik mungkin dengan menambahkan legitimasi dari pemikiran Islam. Indonesia adalah Negara religi. Jika tujuan anda adalah merubah mindset remaja dan orang dewasa., penekanan agama tetap harus dilakukan. Aku memiki channel dibeberapa madrasah Aliyah di Jakarta. Kita bisa memulainya dari pelajar hingga mahasiswa.

“Kau pintar Arisiska. Buat buku itu sebaik mungkin. Kalau berhasil, sepuluh ribu bisa jadi adalah angka minimal bagimu.”

Arisiska tersenyum, “Dimana kita bisa ketemu?”

“Komunitas Selara”

“Aku catat”

Arisiska larut dengan filsafatnya. Ia tidak memejamkan mata selama 22 jam penuh. Ia menulis. Bercinta dengan logika. Ia membaca. Ia mencumbu. Ia mengada. Mengada dengan genangan pemikiran Karl Marx, Sigmone De Beauvoir, Karen Horney, Hannah Arendt, Sigmund Freud hingga Abdullah Ahmad Naim dan Mahmud Muhammad Thoha. Kesemuanya itu dilakukan untuk sekedar mengatakan: Pernikahan adalah bentuk penindasan Pria terhadap Wanita!

Tak ada seorang kakak yang tega membiarkan adik kesayangannya mengidap autis seumur hidup. Melihat adik tampannya terlunta-lunta di ITB hingga ia terperosok melihat senyum ibunya yang akan dioperasi. Inilah waktu yang tepat bagi filsafat untuk semakin berjarak dengan cinta. Beban hidup selama ini sudah cukup meyakinkannya untuk siap menjadi kontroversi. Siap untuk didemo oleh ormas-ormas Islam. Bayangan sakit ibunya, autis adiknya, dan uang kuliah Fadlan membuatnya semakin yakin: “Maafkan aku ya Rabb, jika aku menjual agamamu..” Dan bayangan Reza muncul kemudian dalam hatinya. Ya sebuah percintaan yang aneh antara mahasiswi liberal dengan mahasiswa anti liberalisme.

-Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi-

*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah, kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI.


Glosary

Feminisme adalah suatu agenda yang mempunyai mainstream bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama berperan baik di dalam rumah atau diluar rumah. Menurut kaum feminis, perempuan adalah sumberdaya manusia yang jumlahnya besar, bahkan di seluruh dunia jumlahnya melebihi pria. Akan tetapi, jumlah perempuan yang berpartisipasi di sektor publik selalu berada jauh dibawah pria. Dengan argumen-argumen seperti itulah mereka meneriakkan jargon-jargon emosional yang dapat menyentuh perasaan kaum wanita, seperti jargon perjuangan hak-hak wanita, penindasan wanita, subordinasi wanita, dan lain-lain. Dari cara itulah mereka mendapatkan dukungan untuk mencoba mengkritisi dan mendekonstruksi konsep gender dalam Islam yang jelas-jelas sudah disepakati para ulama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Heurmenetika. Istilah hermeneutika agaknya masih sangat asing di telinga sebagian besar umat Islam di tanah air. Tidak demikian halnya apabila melihat historis hermeneutika itu yang ternyata sudah ada selama berabad-abad lampau serta berkembang pesat di Eropa Barat. Sebagai sebuah metode interpretasi teks Bibel, hermeneutika terutama digunakan untuk mengakomodasi dinamika perkembangan zaman. Dan inilah yang lantas melahirkan tradisi sekular-liberalisme di Barat pada abad pertengahan. Kini, hermeneutika yang berasal dari tradisi Barat-Nasrani tersebut coba diterapkan pada Alquran.

Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.

Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks. Salah satu bentuk dekonstruksi dalam Islam, dilakukan Cak Nur yang mendekonstruksi makna Islam menjadi sebentuk kepasrahan kepada Tuhan. Dengan begini tiap agama yang memasrahkan diri, sudah bagian dari Islam.



-Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi-
*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah, kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKELUMIT KISAH MAHASISWI JURUSAN TERTINGGAL “PGTK UNJ”

Game Level 2 Melatih Kemandirian Day 1

Game Level 3 Melatih Kecerdasan Anak Day 2