“IZINKAN AKU MENCINTAIMU WALAU AKU LIBERAL”: KETIKA FILSAFAT DAN CINTA TIDAK LAGI BERJARAK (Part IV)


Di Barat sejak zaman modern diskursus agama berpindah dari tangan teolog ketangan para filosof.  Pernyataan theology was subservient to philosophy atau under the tutelage of philosophy adalah realitas yang tidak disesali. Artinya teologi menjadi bulan-bulanan para filosof. Untuk sekedar menyebut beberapa nama, Sartre, Heidegger, Jung, Ludwig Feurbach, William James, Nietzsche, Kant dan lain-lain, adalah filosof-filosof yang bicara soal agama. Padahal mereka tidak punya otoritas untuk bicara teologi. (DR. Hamid Fahmi Zarkasyi)

Waktu sudah mengarah ke angka sembilan. Suasana malam di Ciputat berwarna remang-remang. Bohlam besar di tengah taman Fakultas Ushuluddin dan Fisafat memancarkan sinar ke lorong-lorong gelap basement. Gedung berlantai tujuh ini semakin malam semakin ramai. Canda tawa diantara mahasiswa mengalir ditemani dentuman-dentuman suara musik yang terdengar sayup dari depan student centre.
Reza tertunduk. Ia berjalan di lantai dasar fakultas tidak lagi melihat pandangan. Di kanan-kirinya sudah banyak para Sales Promotion Girl  (SPG) bergentayangan. Berbusana ketat, dengan satu buah bungkus rokok tertawan di tangannya.
”Rokok mas. Kita lagi promo.”
”Tidak-tidak,” Reza menyilang-nyilangkan tangannya.
SPG itu kemudian mengejarnya, ”Dicoba satu juga tidak apa-apa, mas”
Reza cepat menghindar. Kepalanya terbenam malu. Ia merasa sebagai anak tiri kebenaran. Inilah UIN Jakarta. Betul kata Nirwan Syafrin, ustadz muda dari Sukabumi dengan gelas Doktor dari Malaysia itu. Liberalisme telah gagal di UIN. Boleh jadi. UIN memang sudah tidak lagi menerima pesanan untuk melahirkan pakar hadis. Jatahnya sudah habis. Expired menurut Theodor Adorno. Namun sebagai gantinya, liberalisme telah melahirkan musuh baru: Hedonisme.
Reza merasa jengah. Kedua tangannya terlipat. Ia berjalan semakin cepat menjauhi ”mbak-mbak” itu. Namun belum jauh ia melangkah, seorang wanita berperawakan muda kembali menghampirinya. Tubuhnya semampai. Rambutnya terburai panjang.
”Mas. Minumannya mas,” tawarnya dengan senyum mengembang.
Kali ini mahasiswa semester tujuh jurusan Tafsir Hadits itu tidak bisa berdiam diri. Reza memberhentikan jalannya. Ia berbalik badan dan menurunkan penutup kepala di jaketnya. Dengan ucapan tegas dan telunjuk yang mengacung-ngacung, ia bergumam, ”Apa anda tidak melihat. Kampus ini adalah kawasan wajib berbusana muslimah!” bentak Reza.
Wanita penjual minuman itu tersentak.
”Apa anda tidak sadar. Kami semua disini adalah santri,” nafas Reza mulai naik turun sebelum ia melanjutkan kata-katanya, ”Kami adalah generasi dimana pundak kami sudah tertanam amanah dari ibu-bapak kami. Kelak anaknya adalah penerus Ibnu Siena yang sudah mati. Bahwa Imam Ghazali adalah deialektika dalam saintifika kami.”
Penjual minuman itu masih diam, namun kakinya kini melaju mendekati Reza. Kedua tangannya bertolak pinggang, ”Saya tidak melihat kampus anda memberitahu bahwa perempuan wajib berbusana muslimah. Setahu saya, kami hanya menjalankan tugas. Sedang ada konser musik di kampus anda dan kami adalah sponsor. Pihak kampus juga sudah menyetujui. Justru kami mempertanyakan hak kami, bukan anda. Mengerti?”
Gantian Reza terdiam.
”Kami sedang cari makan, mohon jangan ganggu kami,” sibak perempuan itu di kerah baju Reza.
Dan mulut Reza akhirnya mengecil. Telunjuknya perlahan-lahan menurun beberapa centi dari wajah penjual minuman itu. Reza baru terbangun dari mati surinya. Ia lupa ini UIN Jakarta, bukan pesantren. Ia lupa ini Ciputat, kota satu-satunya di Asia yang langsung berbatasan dengan Frankfurt dan memiliki nama lain berupa dekonstruksi. Jangan pernah bermimpi melihat plang itu tegak menyambut mahasiswa di depan UIN, Reza. Kita adalah anak-anak muda Islam yang dipaksa ”kafir” oleh keadaan.
Dan akhirnya di sepanjang perjalanan, pemuda itu disuguhkan tentang definisi sesungguhnya dari lema ”apalah arti sehelai kain”. Di depan Aula Madya ada anak-anak muda Kelompok Teater itu kini sudah tidak canggung lagi melepas jilbabnya. Membaca puisi tentang dekonstruksi definisi aurat. Sedang di depan lapangan student centre, ratusan pemuda koplo sedang sangit menyentakkan kaki mendengar alunan lagu band-band melow yang memliliki tuhan baru benama suara.
Reza akhirnya terbujur kaku di Mesjid Fathullah. Sebuah Mesjid terbesar di Ciputat. Berlokasi persis di samping Rumah Sakit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di atas sajadah, Reza mengiba pada Allah betapa impian jauh dari harapan. Tangannya menengadah. Cita-citanya menjadi santri sukses mesti diganggu seorang ”mahasiswa baru” bernama Heurmenetika. Dosen-dosennya memang memiliki nama Ahmad, Thoha, Abdul, Siti, namun kenyataannya mereka hanyalah orang yang percaya derajat Nasr Hamd Abu Zayd lebih tinggi dari nabi. Bahwa Arthur Jeffrey lebih pas membukukan Al Qur’an ketimbang Usman Bin Affan.
Kepalanya berputar. Umurnya semakin menua. Gelar sarjana sudah di depan mata. Ia hanya menyisakan satu mata kuliah, yakni Heurmenetika. Problemnya adalah bahwa mata kuliah ini mengharuskan tiap mahasiswa Tafsir Hadits di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ”membunuh” Syariat Islam dengan cara kasar. Namun Reza tidak sampai hati. Tidak ada santri manapun yang mampu mengkhianati amanah kiyainya. Hingga di tengah kegalauan hati, seorang dosen menangkap isyaratnya,
”Assalamu’alaikum. Apa kabar, akh Reza?”
Reza menghentikan lamunannya. Ia menatap pria soleh itu di sampingnya, ”Subhanallah, Ustadz Hanif.”
Ustadz Hanif adalah dosen Ushuluddin terkemuka di UIN. Beliau memang seperti namanya: Hanif. Berasal dari akar kata ha-ni-fa yang memiliki makna mâla, cenderung. Tetapi juga bisa bermakna istiqâma atau lurus. Betul adanya, walaupun Ustadz Hanif sedari kecil sudah mendekam di Barat dan merampungkan S3 Islamic Studies di Oxford, tapi sama sekali tak terbetik di hatinya untuk menyimpan kebenaran dan bergabung menyebarkan virus liberalisme di kampus.
Sebaliknya, Ustadz muda berumur 40 tahun ini justru berani secara terbuka mengkritik westernisasi pemikiran di UIN.
”Saya saja yang dari kecil di Barat tidak puas atas peradaban Barat, lha kok ini wong Jowo baru mengambil pasca di UIN dan hanya tiga bulan di Inggris sudah mengganggap Barat final. Keseteraan Gender sesuai dengan perkembangan zaman. TOEFL saja cuma empat setengah (baca: 450). Makan hamburger saja meriang.”
”Hahaha..” gemuruh para mahasiswa Forum Mahasiswa Muslim (FMM) UIN ketika mengadakan diskusi bulanan di Aula Madya UIN bertema ”Dikotomi dalam Literatur Sains Barat.” Ucapan Ustadz Hanif itu menyindir beberapa rekan-rekan dosen di UIN yang pecicilan terhadap Barat. Mental defeat.
Ustadz Hanif memang terkenal terampil membalikkan statement-statement relativisme. Di kelas, ia juga berkali-kali mematahkan logika Postmodernisme-nya Derrida dan Adorno pada mata kuliah Pengantar Logika. Analisisnya di kolom pemikiran Islam pada salah satu media nasional kerap membuat gerah para petinggi UIN yang masih setia akan westernisasi pemikiran. Tipe dosen kegemaran Reza yang tidak pernah terfikir untuk menjilat Barat. Reza masih ingat betul, Ustadz Hanif membeberkan pemikiran Cak Nur yang hanya menjadi muqallid dari gagasan sekuarisasi-nya Harvey Cox. ”
Tidak ada yang baru,” pungkas dosen yang mengambil Master di Birmingham itu pada mata kuliah Metodologi Studi Islam, dua bulan silam.
Reza tersenyum. Malam itu ia dihibur sang Ustadz.
”Inilah jalan dakwah, akhi. Dakwah pasti mengalami benturan. Ia akan terjadi ketika al haqq berkonfrontasi dengan kebathilan. Kita tidak boleh menyerah. Kalau kita menyerah, justru mereka semakin senang. Belajarlah dari Imam Syafi’i bahwa keterbatasan dan ketakutan tidak menghalanginya untuk gigih berdakwah. Aktifkanlah disuksi keislaman di FMM. Mereka kajian empat sekali seminggu. Bahkan orang Yahudi mempelajari Islam 20 jam sehari. Masak kita kalah. Antum adalah aset UIN. Kami para dosen menampuk harapan besar pada antum dan kawan-kawan yang rajin membumikan dewesternisasi sains disini.”
Dada Reza yang gersang bagai dialiri air salsabila. Memancarlah aura muka optimisme dalam celah hatinya.
”Jazakallah Khoiron, Ustadz. Tausiyah Ustadz-lah yang selama ini kami tunggu-tunggu.”
Ustadz Hanif menepuk pundak Reza, ”Jadilah mujahid muda yang membanggakan Islam, akhi. Muhammad Natsir Ciputat yang gigih walaupun pemikiran Belanda telah mengelilinginya. Tak malukah antum kepada genangan darah Sayyid Quthb, lumuran pena AnNabhani hingga derap Qur’ani dalam nafas Asy Syahid Rantisi. Semangat jihad kita belum ada apa-apanya dengan mereka. Kita! Adalah generasi Islam yang ditakdirkan Allah untuk menyelamatkan mereka, akhi. Menyelematkan Rahmat, Fauzan, Sena.. dan..”
Reza menaikkan kepalanya menatap Ustadz Hanif, ”Dan siapa, ustadz?”
Ustadz Hanif seperti tersenyum sebelum melanjutkan teka-tekinya, ”Arisiska. Arisiska Lenila Wahid. Penampuk beasiswa shourt course di McGill dan Yale. Mahasiswa Terbaik UIN yang sedang kena tipu daya dunia itu.”
Reza kembali menunduk lalu membuang muka ke samping.
Tiba-tiba ponsel Reza berdengung. Ringtone-nya sesuai dengan semangatnya: Suci Sekeping Hati milik Saujana.
Ia mengeluarkan dan mengangkatnya,
”Assalamu’alaikum, ada apa Jaka?”
Jaka sedikit terisak. Ia seperti menangis. ”Adik perempuanku Reza.. adikku..”
”Kenapa adikmu?”
Melanie Klein Jaka sulit melanjutkan kata-katanya, ”Adikku Reza, dia menjadi korban feminisme.”
”Apa?!”
”Ia tidak mau menikah dan memilih menyalurkan syahwat dengan sesama jenisnya.”
Reza kemudian menghadapkan wajahnya ke arah Ustadz Hanif.
Klik. Ponsel Reza mati. Aura wajahnya berubah geram. Ia mencengkeram tangannya sendiri dengan kuat, ”Aku tahu siapa pelaku sesungguhnya.”

Nama Arisiska dielu-elukan. Mahasiswi Filsafat semester lima itu mengubah hidupnya secara drastis. Pundi-pundi uang bergelimang memenuhi koceknya. Buku-bukunya laku keras di pasaran. Semuanya itu dilakukan hanya bermodalkan satu kata: Kontroversi!
Arisiska tiba-tiba menjadi tenar. Ia betul-betul menjadi mahasiswi cantik. Tidak hanya di pemikiran tapi juga estetik. Namanya disejajarkan dengan Ahmad Wahib. Soe hok Gie sampai Aung San Suu Kyi. Bayangan kesembuhan adik autis dan sakit ibunya seperti sudah berada di depan mata. Jika menjadi pembicara, gelarnya bukan lagi mahasiswa, tapi intelektual muda.
“Jadi ketidakadilan ini dapat dilihat dari bagaimana terjadi perbedaan alat kelamin antara laki-laki dengan perempuan. Sebagian psikolog mendelegasikan bahwa hal itulah yang membuat mengapa anak perempuan senang menyiram kebun. Sebab dengan memegang selang air atau gagang penyiram, anak perempuan merasakan seolah-seolah sedang memegang penis dan kencing dengan jarak yang jauh. Seperti kisah dari Havlock Ellis tentang seorang pasien wanita yang tersentak begitu mendengar suara pancuran air mancur. Jadi menurut saya laki-laki tidak boleh merasa lebih hebat ketimbang perempuan. Sebab perbedaan ini hanyalah pada hal yang tidak elementer. Hanya sehelai tubuh. ”
Arisiska duduk di atas meja, menyalakan korek api, dan menyemburkan asapnya. Ia baru saja menjawab pertanyaan salah seorang pelajar putri dari sebuah Madrasah Aliyah dengan rujukan  psikoanalisis. Pelajar putri itu heran mengapa banyak terjadi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kenapa Surat ArRahman hanya menyebut bidadari bagi laki-laki di surga sedangkan tidak ada frase bidadara bagi perempuan.
”Itulah mengapa Al Qur’an tidak bisa lagi ditafsirkan secara tekstual.” pungkas Arisiska.
Arisiska mengambil bak rokok dan membenturkan batang rokok melihat abu yang mulai memanjang. Ia sengaja meletakkan buku pengantar Filsafat Wanita di mejanya. Pada hari ini, ia melakukan training for trainer bagi anak-anak SMA, Pesantren, dan Madrasah Aliyah yang akan menjadi mentor bagi Pendidikan Seks untuk sejumlah murid-murid sekolah dasar. Berlokasi di sebuah vila dekat Situ Gintung, Arisiska memberikan modul-modul penunjang yang berkisar mengenai tema-tema seksualitas. Suasana training cukup menarik. Kegiatannya pun tidak membosankan. Ada games, focus group discussion, tanya jawab hingga pemutaran film.
”Salam sejahtera. Selamat pagi kawan-kawan sekalian. Shalom. Kenalkan saya Rani dari SMA Relativitas. Agama saya Kristiani. Saya mau bertanya, kak Arisiska anda menulis bahwa Tuhan tidak pernah melihat seorang hamba dari orientasi seksual hambanya, tapi dari amalnya. Apakah karena ini ya beberapa Paus di kalangan agama kami, sering melakukan itu? Terimakasih.”
”Hahahaha…” Gemuruh tawa disusul tepukan tangan para audiens yang rata-rata remaja itu.
”Oke pertanyaan singkat tapi menggigit. Anda jangan salah, kalau anda membaca tafsir bible justru homoseksualitas itu sah-sah saja.”
”Lho darimana melihatnya, kak?” Rani menggaruk-garukkan kepalanya dengan ujung pensil.
Arisiska mengambil alkitab lalu meneruskan jawabannya,” Beberapa bagian Alkitab memang tak dapat kita pungkiri menjadi dasar bagi penolakan sebagian umat Kristen terhadap homoseksualitas. Biasanya ayat-ayat itu tak lepas dari  Kejadian 19, Imamat 18:22, Imamat 20:13, Roma 1:26-27, I Korintus 6:9-10, 1 Timotius 1:9-10, dan Yudas 1:7. Nah problemnya kita tidak melihat konteks bagaimana munculnya ayat-ayat tersebut sebagai sebuah legitimasi teologis dalam bible.”
“Sebagai contoh?” kejar Rani.
Arisiska mulai berdiri dari tempat duduknya. Ia meletakkan sesaat tembakau bakarnya, “Adalah kejadian 19 mengenai kisah Lot dan kota Sodom dan Gomora yang dihukum Tuhan. Penafsiran yang umum di kalangan Kristen mengenai penghukuman Tuhan kepada kota tersebut adalah dikarenakan perilaku seksual yang dianggap menyimpang di kota tersebut yakni persetubuhan laki-laki dengan laki-laki, dan ditambah lagi dengan adanya pemaksaan salah satu pihak kepada pihak lain seperti sodomi. Kisah ini menjadi dasar penolakan sebagian kaum Kristen terhadap perilaku homoseksualitas.
Arisiska kemudian coba melakukan liberalisasi penafsiran pada ayat ini, “Nah, padahal teks ini tidak memberikan petunjuk jelas mengenai bentuk kebobrokan kota Sodom. Secara jernih, teks ini hanya menyatakan alasan para lelaki di kota tersebut hendak menyodomi kedua orang asing tersebut, yakni kedua orang asing yang dipandang mau menjadi hakim atas mereka (19:9).
Pemudi yang juga menjadi aktivis gereja ini mulai mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya mulai bisa mencernanya.”
Arisiska masih belum puas. Ia lalu membengkokkan kajian pada wilayah kesejarahan, “Di dalam konteks zaman kuno di Timur Tengah, penyodomian terjadi sebagai bentuk penghinaan dan perendahan martabat dari pihak yang menang atau lebih berkuasa kepada pihak yang kalah atau lebih lemah. Biasanya hal itu terjadi kepada raja yang kalah perang, atau kepada orang asing yang datang di suatu tempat dan disodomi oleh penduduk asli sebagai tanda dominasi penduduk asli. Dengan demikian, teks Kejadian 19 ini tidak bisa dipakai sebagai legitimasi teologis untuk menolak homoseksualitas, melainkan teks yang membela kaum yang tertindas dan diperlakukan semena-mena oleh pihak yang merasa diri lebih superior.”
“Jadi menurut anda homoseksual dalam agama kami sah-sah saja?”
“Tidak saja hanya sah-sah saja, bahkan memiliki landasan historis. Adalah bodoh dan memiliki cacat teologis jika menjadikan keharaman homoseksualitas sebagai hukum baru. Tanpa disadari kita sudah mengambil alih peran Tuhan untuk membentuk aturan baru.”
Salah seorang santri gantian mengangkat tangan, “Lalu bagaimana pada agama Islam?”
Arisiska kemudian berkata lantang, “Kita harus membedakan ayat-ayat hukum dan ayat-ayat kisah yang tentunya tidak dapat langsung dikaitkan melalui kaidah-kaidah hukum. Persoalannya adalah bahwa kisah Nabi Luth yang memiliki kesamaan dengan kisah Sodom dan Gomora dalam Kejadian 19 dari kitab Kristen biasanya menjadi klaim kebenaran dalam menentang homoseksualitas. Padahal kita harus ingat di dalam kisah tersebut bahwa yang sebenarnya dikatakan sebagai penyebab kota Sodom yang dihuni Luth dihukum Allah bukanlah karena praktik homoseksual, melainkan penduduk kota yang melakukan berbagai kejahatan seperti tindakan onar, pencurian, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika kisah Luth tersebut hanya dilihat dari satu sisi saja dan digunakan untuk pembenaran dalam menolak praktik homoseksualitas, saya khawatir Tuhan akan cemburu, karena hambaNya mencoba menggantkan posisiNya. Dan hal itu sama saja dengan musyrik.”
“Great..”
“Jadi tidak ada satupun ayat di Al Qur’an yang melarang homoseskualitas!” tegas Arisiska meyakinkan.
“Siapa bilang tidak ada ayat di Al Qur’an yang melarang homoseks?!”
Semua peserta tertuju pada seorang laki-laki yang baru datang membuka pintu dari belakang.
Mata Arisiska terbelalak, “Reza…”
-Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi-
*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah, kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI.

#

Glosary
Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai tahun kemulaian Mazhab Frankfurt ini adalah tahun 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur lembaga riset sosial tersebut. Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau ‘mazhab’, dan bahwa penamaan ini diberikan secara retrospektif. Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya (yang di kemudian hari memengaruhi munculnya bidang ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir mengaplikasikan kedua hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham inilah muncul Nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,”Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati”.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Pada penggunaan mutakhir, kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan/atau hubungan sexual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri merek sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada umumnya dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Sedangkan Lesbian adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada wanita homoseks.



 
-Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi-
*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah, kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKELUMIT KISAH MAHASISWI JURUSAN TERTINGGAL “PGTK UNJ”

Game Level 2 Melatih Kemandirian Day 1

Game Level 3 Melatih Kecerdasan Anak Day 2