Cerpen "Sahabat Hujan"
Ibu menatap butiran air hujan yang turun siang itu dari balik jendela. Tetes demi tetes air itu turun sunyi sekali, tanpa ditemani suara gemuruh petir, dan memang suasana itu tepat sekali untuk merenung. Dari balik dinding kuperhatikan wajah ibu, semakin lama semakin kalut, biasanya ketika ibu ceria, keriput diwajahnya tidak terlihat karena terhiasi oleh senyumnya yang merona, namun saat ini yang terlihat adalah sebaliknya, ibu seperti merasakan sesuatu yang menjadi beban pikirannya,hingga keriputnya sangat terlihat. Perlahan kudekati ibu, untuk memastikan apa yang membuat matanya tak bisa lepas dari tetesan hujan yang turun, meski jendela itu semakin lama tertutupi oleh embun. Padahal, aku semakin mendekat, Ibu bahkan tak sadar akan kehadiranku. Aku yakin, lamunannya terulang lagi, tentang suatu masa yang tidak akan pernah dilupakan, masa itu menjadi bayang bayang kesedihan yang membuat bola mata aku, adikku, dan ibu tak pernah kering, karena masa itulah yang membuat ayahku kehilangan nyawanya. Satu minggu, setelah ayah kehilangan nyawanya, ibu selalu seperti ini ketika hujan turun.
Kusentuh bahunya. Ia terbangun dari lamunannya, seraya menatapku, mata ibu basah, ada segumpal air yang menggenang dimatanya, akhirnya tumpah menjadi tetesan bening-bening mutiara. Ibu memelukku erat, sangat erat, seolah melepas rindunya pada orang yang sangat ia sayangi, tapi ini sudah berlangsung lama, sudah 9 tahun yang lalu sejak aku SMP dan sejak adikku masih dalam usia kandungan 8 bulan. Sedangkan sekarang, aku sudah kuliah semester 2 dan adikku sudah kelas 6 SD. Dalam rinai hujan itu, aku seperti melihat bayangan ayah. Ayah memang sosok yang tidak tergantikan, ia sangat bijak, wajahnya karismatik, ia juga pebisnis yang sangat tekun dan telaten, dan ayah juga seorang ustadz muda yang sangat dikagumi oleh warga di lingkungan rumah, sampai-sampai seusai Tarawih pada bulan Ramadhan saat itu, ada beberapa ibu-ibu yang datang kerumahku, untuk meminta ayah menjadi imam terus-terusan. Ah, aku jadi ingat lagi, ayah memang seorang imam yang selalu memperhatikan orang yang dibelakangnya, kalau kebanyakan ibu-ibu yang tua renta, maka ayah akan memilih ayat yang pendek agar tidak membuat ibu-ibu jadi mengeluh, apalagi suara lantunan ayat suci dari mulut ayah, benar-benar menggetarkan yang mendengarnya, sehingga tiada kantuk saat berjama’ah dengan ayah, merdu sekali. Sambil kumengingat kenangan tentang ayah, pelukan dari ibu belum lepas juga, sampai hujan mulai mereda. Sepertinya ini puncak rindunya ibu, karena hari ini juga tepat ulang tahun ayah. Pelukan ibu terlepas, tapi matanya masih mendung.
”Ibuuuuuuuu..................”
Sebuah suara membuyarkan lamunan aku dan ibu. Segera kuseka air mata ibu, dan ibu bergantian menyeka air mataku, hingga kita saling menatap dan melontarkan sebuah senyuman. Dan aku menghela nafas, menyiapkan wajah terbaik, untuk menyambut adikku yang semakin lama semakin menggemaskan dan meresahkan karena kenakalannya.
”Iya...Raditia anak ibu yang ganteng!! Loh, hari ini kamu tidak latihan UAN? Jawab ibu, sambil menutupi kesedihannya meskipunmerah matanya masih terlihat
”Ah, ibu baru dateng udah nanyain latihan, Radit kan Bete, Radit capek ibuuuuu” keluh Radit.
Ibu mendekap Radit, dan baru tersadar kalau Radit basah kuyup
”Jadi kamu gak latihan karena hujan-hujanan?, sudah ibu bilang berkali-kali kamu itu tidak boleh hujan-hujanan, kamu tahu air hujan itu sangat berbahaya, bahkan bisa mematikan, kalau kamu berlari-lari saat hujan,kemudian kamu jatuh, apa kamu tidak sayang dengan dirimu sendiri, apa kamu tidak sayang dengan ibu? Sentak ibu
”Ibuuuu..Radit sudah besar, Radit bukan anak kecil lagi, Radit tahu batasnya, kapan Radit harus berlari, kapan Radit harus berjalan” Jawab Radit dengan keras mendengus kesal dan sedih sambil berjalan ke arah kamarnya.
Radit dari kecil memang suka hujan-hujanan, bahkan dia berbakat dalam menulis puisi, dan seringkali tentang hujan. Umur lima tahun, dia sangat suka mengucapkan kata-kata yang romantis seperti syair, tentang cinta dan hujan, karena semasa bayi ibu seringkali berkomunikasi dengan janinnya sambil berucap puisi. Dan sebelum ayah meninggal, ibu memang sangat mencintai hujan, sama seperti ayah, keduanya pun bertemu dalam Kelompok Pecinta Hujan dan Sastra semasa kuliah, bahkan ayah dan ibu sempat menulis kumpulan cerpen bersama yang belum dirampungkan berjudul ”Cinta tak bertepi”. Bahkan, Aku saja sebagai anak pertama diberinama Raini Maha Dewi, karena cintanya pada hujan. Kata ayah, hujan itu bukti kasih sayang Tuhan untuk manusia, begitupun aku, akupun bukti kasihsayang Tuhan pada ayah dan ibu. Memang tidak akan habis cerita tentang ayah.
Tiba-tiba wajah ibu berubah cerah, tersenyum sambil membuka buku catatan bahasa Indonesia adikku dari dalam tasnya. Akupun berjalan menghampiri ibu, dan penasaran apa yang sedang ibu baca.
”Hayooo...ibu baca apa? Tegur aku
”Ini lho..ibu baca puisinya Radit..romantis sekali, seperti ayahmu dulu, kamu bisa ngga ran? Ledek ibu
”Aku kan bisanya karate dan makan sate bu” jawab aku
Akhirnya suasana riuh kembali. Dan ibu bergegas untuk merapikan tasnya Radit. Kemudian memintaku untuk menyimpannya di kamar Radit. Aku tengok wajah Radit yang tertidur pulas, dia terlihat lelah sekali.
******
Malam ini tampak ramai. Sengaja ibu tidak membahas dulu soal UAN, karena khawatir membuat kesal Radit. Untuk menebus kesalahan ibu tadi malam, ibu membuatkan Spagety Kornet kesukaan keluarga kami. Malam itupun kami mengobrol bersama sambil menyantap masakan khas keluarga kami.
”Ibu, aku ingin bicara sesuatu, tentang senua yang kubenci dari sekolah,aku seperti dipenjara bu” tanya Radit
Ibu tertegun, mendengar pertanyaan Radit, sambil melihat kearahku, sepertinya ibu menemukan kemiripan lagi dengan ayah.
”Hoaaaam” sambil terkantuk ibu melanjutkan pembicaraan ”Kamu percis sekali dengan ayahmu Radit, yang lebih suka minatnya daripada belajar di sekolah, tapi ayahmu juga pernah menyesal, saat nilai-nilai diperkuliahannya benar-benar kecil dan membuat orangtuanya kecewa” jawab ibu
”Memangnya kamu diapain sama gurunya dit? Kok sampe kayak dipenjara gitu?”
tanya aku sambil bercanda
”Aku mau belajar sambil menatap hujan bu, aku suka sekali hujan, aku sangat suka pembahasan guru IPA tentang ”water cycle”, tapi di kelas 6 ini aku tak menemukan materi yang aku suka, aku suka sekali bau hujan ibu, hmmm..rasanya segar sekali” Jawab Radit
Aku sebenarnya tidak begitu mengerti apa yang adikku katakan, bahasa nyastra abis, di keluarga ini, hanya aku yang tidak bisa melontarkan kata kata seindah itu.
”Radiiit, ibu mengerti kondisi kamu, tapi belajar itu adalah masa depan kamu, anak-anak diluar sana sangat ingin sekolah, masa kamu yang sudah sekolah tidak bersyukur, saat senja saja langit masih menampakkan kebiru-biruannya, nah begitupun kamu, meski kamu sekarang tidak suka, kamu harus tetap menampakkan senyummu, karena yang pertama kali orang lain lihat adalah wajahmu, ibu tidak mau kamu cemberut lagi karena hal ini”jawab ibu dengan penuh perhatian
Malam semakin larut, Radit dan Ibu masih berbincang saja. Ah, aku cemburu, karena malam itu terasa milik mereka berdua saja. Tapi biarkan saja, agar keduanya tak lagi bersedih. Setelah itu, kami menggelar karpet didepan televisi dan berbaring melepas penat bersama.
*****
Ibu menghela napas kecewa di pagi hari ini. Ia baru saja menerima SMS dari wali kelasnya Radit, tentang kenakalannya Radit di sekolah, memang tak jelas apa kenakalannya. Aku harus buru-buru ke kampus, karena hari minggu ini waktunya aku rapat tentang Festival anak dengan teman-temanku di BEM Jurusan Pendidikan Anak. Aku pamit, dan meninggalkan ibu dalam keadaan kecewa.
”Ibu, Rani pamit ya, ada rapat di kampus”
”Oh..iya Rani, hati-hati ya, langsung pulang, jangan kemana-mana lagi, minggu waktunya beres-beres sebenarnya” jawab Ibu
”Hehe..iya Bu, Rani janji nanti pulang langsung beres-beres, ini rapat terakhir kok mah”jawab aku.
Aku pergi, sedangkan ibu masih sibuk dengan Handphonenya, dan Radit, sejak tadi pagi sudah tidak terlihat ada di mana, karena dia bangun lebih awal. Saat aku menyeberang jalan ingin menunggu patas 98 ke arah Rawamangun, tiba-tiba hujan turun, dan aku rogoh payung di tas ku, ternyata tidak ada, padahal aku tidak pernah mengeluarkan dari tasku. Tiba-tiba ada seorang anak berkata: ”payung nya kak, ojek payung ojek payung”. Saat itu, aku sangat butuh payung, tapi tiba-tiba aku khawatir dengan kondisi ibu, karena sekarang sedang hujan, apalagi ibu dala keadaan kecewa pada Radit. Haduh, aku semakin tak tega meninggalkan ibu, untung saja baru satu kali naik angkot, yang sebenarnya tak begitu jauh dari rumah. Sepertinya aku harus balik lagi, tapi aku butuh payung, untuk berjalan ke arah naik angkot, yasudah akhirnya aku panggil anak yang menawarkan ojek payung itu, lalu dengan lembut ia menghampiri sambi berkata: ”mari kak, saya antar,sampai mana ya kak?”
”sampai rumah saja bagiamana?”tanya aku
”oh boleh kak, saya antar kemanapun kaka mau”
Sambil berjalan, aku melihat payung yang percis dengan payungku, maklum payungku itu yang punya hanya keluargaku, katanya itu warisan pecinta hujan, dan memang tertulis kata-kata pecinta hujan. Ah memang ada-ada saja ayah dan ibuku. Mungkin itu Cuma mirip saja. Lalu anak itu, bertnya padaku:
”Kaka, lagi ngeliatin apa?”tanya anak itu
”Oh, itu aku ngeliatin payung dik, mirip sekali payung punyaku”jawab aku
”Oh, itu payung sahabat hujanku” jawab anak itu
Mendengar itu, aku jadi ingat Radit yang pernah bercerita tentang sahabat hujan
”Oh ya, siapa namanya?”tanya aku
”Rahasia kak” jawab anak itu
”Eh, main rahasia-rahasiaan sama kaka ya” aku menanggapi
”Dia berlesung pipit seperti kaka” ”jawab anak itu”
”Oh iya namamu siapa?” tanya aku
”Namaku Meida kak” jawab Meida
Tiba-tiba payung itu semakin mendekat, oh iya karena tadi kaca mataku berembun, akhirnya aku lepas, dan sekarang kucoba pakai lagi agar lebih jelas. Aku terkaget, karena Radit terlihat sedang menawarkan ojek payung.
”Meida, itu Radit bukan?” Tanya aku menegeaskan
”Bukan kak”
”Huuuh, aku menghela nafas lega”
”Tapi itu Raditia kak nama lengkapnya, bukan Radit”
”Apaaaaaa, tidaaaak. Itu adikku Meida”
Akhirnya aku bergegas berlari tanpa mempedulikan Meida, dan akhirnya kurengkuh badannya Radit
”Radiit kenapa kamu disini? Ibu mengkhawatirkan kamu, kenapa kamu harus mengojek seperti ini?
Dan akhirnya Radit memanggil Meida untuk ikut menjelaskan. Karena aku juga ingin ibu tau, makanya aku ajak mereka ke rumah. Kamipun berjalan menuju rumah
*****
Ibu termenung, terlihat kekesalan diwajahnya, sambil mondar-mandir di depan rumah. Saat itu hujanpun mereda.
”Radit, kamu kemana saja? Kenapa kamu membohongi ibu?kenapa kamu tega mempermalukan ibu?”desak ibu”
Radit dan Meida menunduk, mereka memahami kesalahan mereka, karena tidak pernah membicarakan soal ojek payung.
”Ibu, pelan-pelan bicaranya, Radit dan Meida masih kelelahan, mereka habis membantu orang”pinta aku
Akhirnya akupun ke kamar mengambil handuk dan kaos untuk mereka berdua, juga teh hangat.
Ibu sedikit geram, tapi tetap tenang
”Coba Radit ceritakan, kenapa jadi anak jalanan?”tanya ibu
”Ibu,jangan bilang gitu?jawab aku sambil menenangkan ibu
Tiba-tiba sambil menangis, Meida yang menjelaskan
”Ibu, maaf ini semua kesalahan Meida, Meida yang minta tolong Radit untuk membantu Meida ojek payung, dan Raditpun setuju” jawab Meida
Sambil menatap Meida, ibupun teringat
”Tunggu-tunggu, kamu Meida cucunya Abah Supri ya, yang penjaga sendal di Masjid Baiturrahman?”tanya ibu
”Iya ibu, abah lagi sakit keras, meida mau bantu abah” jawab Meida”
”Ibu, maafkan Radit, Meida itu sahaba hujan Radit, kalau Meida kesusahan, pasti Radit akan bantu, dan Radit senang Bisa membantu, juga bisa terus hujan-hujanan..hehe” pinta Radit
Wajah ibu, berubah tak lagi sedih bahkan ibu mememeluk Meida dan Radit
’Tidak apa-apa ibu bangga sekaligus malu, tidak peka dengan kondisi tetangga sendiri ya, padahal rumah abah, sama rumah kita Cuma terpisah 5 rumah, jadi jaraknya dekat”jawab ibu dengan tenang
”Aduh, Raini juga jadi malu bu, Raini malah tak tahu apa-apa” keluh aku
”Makanya belajar dari Radit dan Meida, sana kamu ikut ngojek payung aja”pinta Ibu
”Aduh gak mau bu ah, aku gengsi..hehe”Jawab aku
Akhirnya ibu tak jadi marah karena SMS gurunya Radit tentang Radit yang menjadi anak jalanan. Huh, aku jadi lega. Dan suasana inipun jadi bermakna.
#Naisa Maulidia#
Seorang Pengajar dan Pengasuh di Tempat Penitipan Anak "Baby Fun Club" dan juga seorang Mahasiswi jurusan "Pendidikan Anak Usia Dini" Universitas Negeri Jakarta"
Komentar
Posting Komentar